Gratifikasi atau Suap

Kendati saat ini tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh tiga lembaga penegak hukum yakni KPK, Kejaksaan dan Kepolisan, ternyata pada level bawah masih banyak oknum yang memanfaatkan situasi untuk memperkaya diri maupun korporasi.

Padahal itu termasuk kategori tindak pidana korupsi. Kita sering mendengar terutama dari para pelaksana kegiatan pada level bawah, baik rekanan, sekolah ataupun desa, apabila ingin mendapatkan bantuan program maka uang pelicin sejumlah tertentu harus disetorkan mencapai jumlah tertentu.

Urusan grafitasi atau pelicin mungkin yang paling tinggi terjadi pada kasus bantuan Gubernur yang pernah terbongkar dan dilakukan oleh mantan anggota DPRD Kab. Kuningan periode 2004-2009, yakni NK. Saat itu bantuan untuk pembangunan sebuah TK, dia tega mengembat bangub hingga 90%. Dan mungkin yang tertinggi dibanding kasus lainnya dalam urusan gratifikasi.

Umumnya, dana perjuangan (grafitasi) baik melibatkan oknum anggota Dewan atau pejabat hanya berkisar 10 – 30 persen, itu sudah sangat besar sekali.

Pengakuan salah seorang kuwu, untuk mendapatkan dana PPIP 2009 (percepatan peningkatan imprastruktur perdesaan) harus merogoh kocek hingga 30 persen dari total bantuan Rp. 250 juta atau sekira Rp. 75 juta. Kemana saja uang itu mengalir? Konon uang itu mengalir ke satuan kerja pada tingkat kabupaten dan provinsi. Bahkan anggota DPR RI ikut kecipratan, dengan mengklim sebagai fasilitator. Namun ketika terjadi permasalahan, maka yang kena getahnya hanya kuwu sebagai pelaksana pada tingkat bawah.

Ada baiknya harus hati-hati jangan sampai terjebak sebuah permainan uang yang ujung-ujunganya bisa berujung pada jeruji besi. Begitu pula pada penyediaan baja ringan untuk DAK pembangunan sekolah dasar. Di sekolah ini kata Kordinator CJDW (Coruption Justice Development Wach) Yaya Cahyadi, diduga kuat untuk pengadaan rangka baja ringan terjadi mark up yang mencapai selisih Rp. 35.000. Dalam SPK memang disebutkan harga baja ringan sebesar Rp. 165.000/meter2 dengan kualitas nomor dua (gingalung) dengan garansi 10 tahun, namun yang digunakan baja galvanis dengan harga yang sebenarnya hanya Rp. 130.000.

Kemana sisa dana sebesar Rp. 35.000 itu? Jawaban Yaya, ke oknum Pejabat Dinas Pendidikan dan UPTD Pendidikan sebesar 25.000/meter2 dan dinikmati kepala sekolah  Rp. 10.000/meter2.

Jika ini benar bahwa telah terjadi gratifikasi, maka para penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisian harus turun tangan segera memroses sesuai hukum pidana korupsi yang berlaku. Karena jelas negara dirugikan, dan yang dijerat jangan hanya kepala sekolah atau kuwu saja namun para penikmat uang haram itu. (redaksi)

Tinggalkan komentar