APDESI Kabupaten Kuningan memberikan deadline (batas waktu) kepada Pemda Kuningan untuk mengimplementasikan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa, hingga Desember 2009.
Pernyataan itu dilontarkan Ketua DPC (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) Kab. Kuningan, Mulyono AR seusai dialog interaktif antara APDESI, Pemda Kuningan dan Komisi A DPRD Kuningan di RM Lembah Ciremai, Kamis (29/10).
“Saya berharap Pak Bupati dapat menentukan sikap untuk memberikan tunjangan tetap bagi para kuwu dan perangkat desa. Kalau hingga akhir 2009 tidak ada kesimpulan, saya ngga tahu apa yang akan dilakukan para kuwu dan perangkat desa itu,” kata Kuwu Sindang Agung ini.
Ia pun menyayangkan janji bupati mau menambah ADD 2009 sebesar Rp. 8 milyar, tetapi tidak terbukti. Malah dananya digunakan untuk menutupi co-sharing PNPM.
Kepala BPMD Kab. Kuningan, Drs. Ir. H. Durahman, MM menjelaskan, aspirasi dan tuntutan dari para kuwu telah disampaikan semuanya kepada bupati. “Pak Bupati siap melakukan dialog langsung mengenai PP 72 tahun 2005, selama dilakukan dalam wadah APDESI,” kata Durachman.
H. Durachman menjelaskan, dana PNPM untuk Kuningan sebesar Rp. 57 milyar, memerlukan co-sharing (dana pendamping) sebesar Rp. 7,9 milyar dari APBD. “Tahun ini Kuningan mendapat alokasi PNPM 26 kecamatan. Sayangnya Pemda Kuningan hanya mampu menyediakan dana pendamping empat milyar. Dan telah mengajukan keringanan kepada pemerintah, namun belum ada jawaban,” terangnya.
Ia menjelaskan Perda No. 20 tahun 2006 mengacu kepada PP 72/2005 tentang desa. Sayangnya, terbitnya Surat Edaran Mendagri No. 900/1303/SJ itu belum singkron di pusat, terbukti Depkeu menolak usulan Depdagri. Apabila Depkeu menerima, maka harus jelas pos-nya dalam DAU (dana alokasi umum).
Dialog Seru
Pada sesi dialog, muncul saran dan kitik tajam dari para kuwu. Usulan kritis diantaranya dilontarkan Kuwu Linggarjati Kec. Cilimus Unang Unarsan, Kuwu Manis Kidul Kec. Jalaksana Eman Suherman, dan Kuwu Cimara Kec. Pasawahan A. Amanan.
Kuwu Linggarjati menyoroti geejlognya PP No, 72/2005 dengan Perda 20/2006 menyangkut keuangan desa. Seharusnya PP dilaksanakan secara konsekwen, bukannya diingkari dengan Perda 20/2006 itu. Hal senada dikemukakan Kuwu Maniskidul, Eman Suherman. Ia menganggap aneh, apabila dikatakan SE Mendagri dikatakan multitafsir dan bertentangan dengan PP 72/2005. “Bukankah SE Mendagri itu penjabaran dari PP yang didalamnya ada kewajiban Pemda untuk menyejahterakan kuwu dan perangkat desa,” ucapnya.
Dalam ketentuan itu, penghasilan tetap dari APBD yang bersumber dari DAU yang dituangkan dalam APBDes. Karena itu dia meminta agar dapat dilaksanakan pada 2010. “Surat edaran Mendagri itu sendiri bertujuan untuk menghindari multi tafsir terhadap ketentuan dalam pasal 27 PP No. 72 tahun 2005,” terang Eman.
Kuwu Cimara, A. Amanan membantah adanya perpecahan dalam tubuh APDESI. Namun dia tidak menampik bila ide tuntutan mengenai penghasilan tetap berasal dari kuwu di wilayah utara karena kebetulan tahu lebih dulu.
Pendapat yang moderat disampaikan Kuwu Cikaduwetan, Djodjo Hernawan, Kuwu Sadamantra Drs. Rasmad, M.Si dan Kuwu Bendungan Adi Wijaya. Djodjo Hernawan tidak mempersoalkan PP 72/2005 atau bukan, yang penting adanya peningkatan kesejahteraan bagi kuwu dan perangkat desa.
“Setidaknya, pos kesejahteraan pada 2010 lebih besar. Kongritnya dituangkan dalam ADD dan tergantung user (bupati, red). Kalau kesejahteraan meningkat, kami yakin kinerja kuwu dan perangkat desa akan lebih hebat,” kata mantan anggota DPRD Kuningan dari Partai Golkar ini
Kuwu Bendungan Kec. Lebakwangi, Adi Wijaya mengusulkan lebih kongkrit agar kesejahteraan kuwu dan perangkat desa dinaikkan dan dituangkan dalam ADD. “Sebeluma ada kepastian implementasi PP 72/2005, sebaiknya setiap desa disubsidi Rp. 3 juta/bulan,” katanya.
Wakil Ketua DPC APDESI, Drs. Rasmad mengaku telah berkoordinasi dengan Pemda, rekan APDESI kabupaten lain dan APDESI provinsi. Tujuannya agar PP dapat dilaksanakan. “Kami juga sepakat bahwa pemerintah desa merupakan ujung tombak, dan bukan sapi perahan,” ujar Rasmad.
Kasubid Tata Pemdes BPMD, Ahmad Faruk, S.Sos, M.Si menjelaskan, PP 72/2005 sulit dilaksanankan karena multi tafsir. “Hal ini berbeda dengan PP 41/2007 tentang pengadaan CPNS, PP 45/2006 tentang pengangkatan Sekdes menjadi PNS, dan PP 37/2007 tentang Tunjangan Komunikasi dan Informasi DPRD. Meski yang terakhir ini kemudian dibatalkan,” jelas pakar Pemdes di Kuningan ini.
Permasalahan muncul pasca keluarnya surat edaran Mendagri No, 900/1303/SJ mengenai tunjangan tetap. Dalam surat yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia itu Pemda berkewajiban menyediakan dana itu.
Lebih jelas dalam Pasal 68 menyebutkan, penghasilan tetap itu berasal APBD yang bersumber dari DAU. Permasalahanya, dalam DAU itu sendiri tidak ada pos bantuan keuangan untuk kepala desa dan perangkat desa. Berbeda, dengan UU No. 5 tahun 1979, secara jelas menyebutkan bahwa penghasilan kuwu adalah tanah kas desa (dulu bengkok).
Terpisah, Ketua DPRD Kab. Kuningan, H. Acep Purnama, SH, MH mengaku tengah mendalami aspirasi dari para kuwu di Kabupaten Kuningan. “Kita harus sadar meski ada keharusan daerah untuk menyediaan anggaran, tapi bagi Kuningan anggaran sebesar dua puluh tiga miliar itu sangat berat,” jelasnya.
“Kini kami tengah mendalami aturan yang ada. Apakah PP Nomor 72 tahun 2005, Perda 20 tahun 2006, dan Surat Edaran Mendagri No. 900/IV/2009 tentang Pemberian tunjangan penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa,” kata Acep, Selasa (3/11) di ruang kerjanya.
Pemda dan DPRD Tunggu UU Desa
Menanggapi aspirasi para kuwu, Asisten Pemerintahan Setda Kuningan, H. Bambang T. Margono, SH, MM menerangkan bahwa Pemda saat ini tengah melakukan kajian secara intensip terhadap PP 72/2005 dan Surat edaran Mendagri. Selain itu, melakukan komunikasi dengan kabupaten lain, Pemprov Jabar, dan pusat.
Ia menjelaskan, dasar keluarnya SE mendagri adalah untuk memenuhi keinginan para kepala desa di luar Jawa yang tidak punya bengkok. Sementara di Jawa dan Bali, setiap kepala desa dan perangkat desa diberikan penghasilan dari bengkok.
“Kami juga telah melakukan kordinasi dengan provinsi dan pemda lainnya di Bakorwil Cirebon. Disepakati untuk wilayah III ketentuan PP 72/2005 itu belum bisa dilaksanakan secara serentak. Dalam rapat itupun disepakati pula bahwa pelaksanaan PP dimaksud menunggu terbitnya UU Desa,” katanya.
Sekretaris Komisi A DPRD Kuningan, Dede Sembada dan anggota Satya Lesmana mengharapkan adanya persamaan persepsi dalam menyikapi PP 72/2005 dan SE Mendagri. “Karena kita tidak menutup mata terhadap aspirasi para kepala desa, tapi karena akan terbit UU Desa maka sebaiknya kita menunggu keluarnya undang-undang dimaksud. Permasalahannya, bahwa SE Mendagri bukan merupakan payung hukum untuk memenuhi tuntutan itu,” jelasnya.
Pada sisi lain, kendati anggota DPRD berhak menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, tapi berdasarkan aturan protokoler, legislatif dan eksekutif merupakan bagian dari Pemerintah Daerah yang harus sejalan.
Ketua Komisi A DPRD, Maman Wijaya menambahkan, aspirasi para kepala desa bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan berdaya guna. Untuk menyikapinya perlu ada kebijakan bersama antara legislatif dan eksekutif dengan terobosan agar aspirasi itu bisa terakomodir dan terealisir, selama aturannya jelas.
Sementara anggota Komisi A, Daswa, S.Si sangat setuju dengan aspirasi para kepala desa, namun kembali kepada anggaran yang tersedia. Dan bagusnya sudah dialokasikan dalam DAU. (tan)