Arsip Kategori: edisi 134

APDESI Deadline Akhir 2009, Pemda dan DPRD Menunggu UU Desa

Kramatmulya, IB

APDESI Kabupaten Kuningan memberikan deadline  (batas waktu) kepada Pemda Kuningan untuk mengimplementasikan PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa, hingga Desember 2009.

Pernyataan itu dilontarkan Ketua DPC (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) Kab. Kuningan, Mulyono AR seusai dialog interaktif antara APDESI, Pemda Kuningan dan Komisi A  DPRD Kuningan di RM Lembah Ciremai, Kamis (29/10).

“Saya berharap Pak Bupati dapat menentukan sikap untuk memberikan tunjangan tetap bagi para kuwu dan perangkat desa. Kalau hingga akhir 2009 tidak ada kesimpulan, saya ngga tahu apa yang akan dilakukan para kuwu dan perangkat desa itu,” kata Kuwu Sindang Agung ini.

Ia pun menyayangkan janji bupati mau menambah ADD 2009 sebesar Rp. 8 milyar, tetapi tidak terbukti. Malah dananya digunakan untuk menutupi co-sharing PNPM.

Kepala BPMD Kab. Kuningan, Drs. Ir. H. Durahman, MM menjelaskan, aspirasi dan tuntutan dari para kuwu telah disampaikan semuanya kepada bupati. “Pak Bupati siap melakukan dialog langsung mengenai PP 72 tahun 2005, selama dilakukan dalam wadah APDESI,” kata Durachman.

H. Durachman menjelaskan, dana PNPM untuk Kuningan sebesar Rp. 57 milyar, memerlukan co-sharing (dana pendamping) sebesar Rp. 7,9 milyar dari APBD. “Tahun ini Kuningan mendapat alokasi PNPM 26 kecamatan. Sayangnya Pemda Kuningan hanya mampu menyediakan dana pendamping empat milyar. Dan telah mengajukan keringanan kepada pemerintah, namun belum ada jawaban,” terangnya.

Ia menjelaskan Perda No. 20 tahun 2006 mengacu kepada PP 72/2005 tentang desa. Sayangnya, terbitnya Surat Edaran  Mendagri No. 900/1303/SJ itu belum singkron di pusat, terbukti Depkeu menolak usulan Depdagri. Apabila Depkeu menerima, maka harus jelas pos-nya dalam DAU (dana alokasi umum).

Dialog Seru

Pada sesi dialog, muncul saran dan kitik tajam dari para kuwu. Usulan kritis diantaranya dilontarkan Kuwu Linggarjati Kec. Cilimus Unang Unarsan, Kuwu Manis Kidul Kec. Jalaksana Eman Suherman, dan Kuwu Cimara Kec. Pasawahan A. Amanan.

Kuwu Linggarjati menyoroti geejlognya PP No, 72/2005 dengan Perda 20/2006 menyangkut keuangan desa. Seharusnya PP dilaksanakan secara  konsekwen, bukannya diingkari dengan Perda 20/2006 itu.  Hal senada dikemukakan Kuwu Maniskidul, Eman Suherman. Ia menganggap aneh, apabila dikatakan SE Mendagri dikatakan multitafsir dan bertentangan dengan PP 72/2005. “Bukankah SE Mendagri itu penjabaran dari PP yang didalamnya ada kewajiban Pemda untuk menyejahterakan kuwu dan perangkat desa,” ucapnya.

Dalam ketentuan itu, penghasilan tetap dari APBD yang bersumber dari DAU yang dituangkan dalam APBDes. Karena itu dia meminta agar dapat dilaksanakan pada 2010. “Surat edaran Mendagri itu sendiri bertujuan untuk menghindari multi tafsir terhadap ketentuan dalam pasal 27 PP No. 72 tahun 2005,” terang Eman.

Kuwu Cimara, A. Amanan membantah adanya perpecahan dalam tubuh APDESI. Namun dia tidak menampik bila ide tuntutan mengenai penghasilan tetap berasal dari kuwu di wilayah utara karena kebetulan tahu lebih dulu.

Pendapat yang moderat disampaikan Kuwu Cikaduwetan, Djodjo Hernawan, Kuwu Sadamantra Drs. Rasmad, M.Si dan Kuwu Bendungan Adi Wijaya. Djodjo Hernawan tidak mempersoalkan PP 72/2005 atau bukan, yang penting adanya peningkatan kesejahteraan bagi kuwu dan perangkat desa.

“Setidaknya, pos kesejahteraan pada 2010 lebih besar. Kongritnya dituangkan dalam ADD dan tergantung user (bupati, red). Kalau kesejahteraan meningkat, kami yakin kinerja kuwu dan perangkat desa akan  lebih hebat,” kata mantan anggota DPRD Kuningan dari Partai Golkar ini

Kuwu Bendungan Kec. Lebakwangi, Adi Wijaya mengusulkan lebih kongkrit agar kesejahteraan kuwu dan perangkat desa dinaikkan dan dituangkan dalam ADD. “Sebeluma ada kepastian  implementasi PP 72/2005, sebaiknya setiap desa disubsidi Rp. 3 juta/bulan,” katanya.

Wakil Ketua DPC APDESI, Drs. Rasmad mengaku telah berkoordinasi dengan Pemda, rekan APDESI kabupaten lain dan APDESI provinsi. Tujuannya agar PP dapat dilaksanakan. “Kami juga sepakat bahwa pemerintah desa merupakan ujung tombak, dan bukan sapi perahan,” ujar Rasmad.

Kasubid Tata  Pemdes BPMD, Ahmad Faruk, S.Sos, M.Si menjelaskan, PP 72/2005 sulit dilaksanankan karena multi tafsir. “Hal ini berbeda dengan PP 41/2007 tentang pengadaan CPNS, PP 45/2006 tentang pengangkatan Sekdes menjadi PNS, dan PP 37/2007 tentang Tunjangan Komunikasi dan Informasi DPRD. Meski yang terakhir ini kemudian dibatalkan,” jelas pakar Pemdes di Kuningan ini.

Permasalahan muncul pasca keluarnya surat edaran Mendagri No, 900/1303/SJ mengenai tunjangan tetap. Dalam surat yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/walikota seluruh Indonesia itu Pemda berkewajiban menyediakan dana itu.

Lebih jelas dalam Pasal 68 menyebutkan, penghasilan tetap itu berasal APBD yang bersumber dari DAU. Permasalahanya, dalam DAU itu sendiri tidak ada pos bantuan keuangan untuk kepala desa dan perangkat desa. Berbeda, dengan UU No. 5 tahun 1979, secara jelas menyebutkan bahwa penghasilan kuwu adalah tanah kas desa (dulu bengkok).

Terpisah, Ketua DPRD Kab. Kuningan, H. Acep Purnama, SH, MH mengaku tengah mendalami aspirasi dari para kuwu di Kabupaten Kuningan. “Kita harus sadar meski ada keharusan daerah untuk menyediaan anggaran, tapi bagi Kuningan anggaran sebesar dua puluh tiga miliar itu sangat berat,” jelasnya.

“Kini kami tengah mendalami aturan yang ada. Apakah PP Nomor 72 tahun 2005, Perda 20 tahun 2006, dan Surat Edaran Mendagri No. 900/IV/2009 tentang Pemberian tunjangan penghasilan tetap bagi kepala desa dan perangkat desa,” kata Acep, Selasa (3/11) di ruang kerjanya.

Pemda dan DPRD Tunggu UU Desa

Menanggapi aspirasi para kuwu, Asisten Pemerintahan Setda Kuningan, H. Bambang T. Margono, SH, MM menerangkan bahwa Pemda saat ini tengah melakukan kajian secara intensip terhadap PP 72/2005 dan Surat edaran Mendagri. Selain itu, melakukan komunikasi dengan kabupaten lain, Pemprov Jabar, dan pusat.

Ia menjelaskan, dasar keluarnya SE mendagri adalah untuk memenuhi keinginan para kepala desa di luar Jawa yang tidak punya bengkok. Sementara di Jawa dan Bali, setiap kepala desa dan perangkat desa diberikan penghasilan dari bengkok.

“Kami juga telah melakukan kordinasi dengan provinsi dan pemda lainnya di Bakorwil Cirebon. Disepakati untuk wilayah III ketentuan PP 72/2005 itu belum bisa dilaksanakan secara serentak. Dalam rapat itupun disepakati pula bahwa pelaksanaan PP dimaksud menunggu terbitnya UU Desa,” katanya.

Sekretaris Komisi A DPRD Kuningan, Dede Sembada dan anggota Satya Lesmana mengharapkan adanya persamaan persepsi dalam menyikapi PP 72/2005 dan SE Mendagri. “Karena kita tidak menutup mata terhadap aspirasi para kepala desa, tapi karena akan terbit UU Desa maka sebaiknya kita menunggu keluarnya undang-undang dimaksud. Permasalahannya, bahwa SE Mendagri bukan merupakan payung hukum untuk memenuhi tuntutan itu,” jelasnya.

Pada sisi lain, kendati anggota DPRD berhak menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, tapi berdasarkan aturan protokoler, legislatif dan eksekutif merupakan bagian dari Pemerintah Daerah yang harus sejalan.

Ketua Komisi A DPRD, Maman Wijaya menambahkan, aspirasi para kepala desa bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan berdaya guna. Untuk menyikapinya perlu ada kebijakan bersama antara legislatif dan eksekutif dengan terobosan agar aspirasi itu bisa terakomodir dan terealisir, selama aturannya jelas.

Sementara anggota Komisi A, Daswa, S.Si sangat setuju dengan aspirasi para kepala desa, namun kembali kepada anggaran yang tersedia. Dan bagusnya sudah dialokasikan dalam DAU. (tan)

Masyarakat Pasapen dan Indosat Belum Sepakat

Kuningan, IB

Perseteruan antara warga masyarakat Lingkungan Pasapen Kelurahan Kuningan dengan PT Indosat belum ada kata sepakat. Permasalahan muncul pasca gempa Tasikmalaya awal September lalu, yang mengakibatkan tower yang terletak di RT 04 RW III Lingkungan Pasapen pondasinya retak.

Akibatnya warga merasa cemas dan khawatir, bila tower setinggi 70 meter itu rubuh dan menimpa warga. Karena itulah, warga pun mengadukan nasibnya kepada Pemda dan DPRD Kuningan. Sayangnya, Pemkab kurang resfek, sedangkan DPRD langsung menanggapi dengan mengada kan rapat dengar pendapat (RDP) antara warga dengan Komisi A dan Komisi C.

Pada heraring ke dua, Selasa (10/11) di ruang Bamus DPRD Kuningan dihadiri Wakil Ketua DPRD H. Yudi Budiana, SH, Ketua Komisi A Maman Wijaya beserta anggota, Ketua Komisi C Rana Suparman, S.Sos beserta anggota, Kabid Pelayanan BPPT Andi Juhandi, SH., perwakilan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, perwakilan PT Indosat, Lurah Kuningan Maryanto, M.Si dan warga masyarakat RT 03, RT 04, dan RT 07 RW 03 Kelurahan Kuningan, yang nota bene merupakan korban.

Ketua Komisi C, Rana Suparman mengatakan, atas laporan warga Pasapen pihaknya kemudian melaku  kan crosscek ke lokasi. Hasil pantauannya, memang benar pasca gempa Tasikmalaya itu, terjadi pergeseran tanah. Adapun perbaikan tidak mampu menghilangkan rasa khawatir warga. Apalagi pengerjaannya hanya semalam. Karena merasa khawatir, warga dinilai pantas meminta tower dialihkan ke tempat yang jauh dari pemukiman.

Jajat Sudrajat, mewakili Dinas Tata Ruang, setelah menerima tembusan surat aspirasi (11/9) langsung melakukan peninjauan ke lokasi. Hasilnya, ada keretakan tembok pembatas dan ada penurunan pondasi di sebelah utara. Secara kasat mata di dalamnya tidak ada pilar-pilar, kolom-kolom beton, dan tidak nampak slup-slup.

Yang cukup mengaget kan dari penjelasan Jajat yang mengakui dinasnya hanya mengetahui site lokasi saja. Sedangkan, gambar  tidak mengetahui nya. Begitu pula dalam pengawasan tidak dilibatkan.

Perwakilan PT. Indosat, Ir. Hadi Gunadi menjelaskan bahwa sebelum mem bangun sejak awal telah mengajukan izin kepada Pemda. Setelah izin keluar, kemudian melakukan pengetesan tanah, termasuk daya ikat tanah, sehingga dapat menahan beban yang sangat berat. Dalam pengerjaan pihaknya bekerjasama dengan Konsultan dari Bandung yang menyatakan aman. Pada pembangunan ini didukung oleh pondasi dengan kedalaman 4 – 6 meter di bawah permukaan tanah.

Menuru Hadi, pondasi tower sampai saat ini aman, dan tiang-tiang yang bolong itu memang disengaja untuk arus angin.  “Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Andai terjadi pergeseran itu karena factor alam. Namun setidaknya hal ini akan menjadi tolok ukur ke depan agar bisa lebih baik lagi. Slup dibuat dengan jarak empat meter, dan akan ditambah menjadi dua meter. Untuk kebisingan dari genset akan di-silent-kan atau dipindahkan ke pinggir jalan,” jelasnya.

Ia pun berjanji akan berupaya meyakinkan masyarakat mengenai keamanan dan kenyamanan tower. Jaminan itu akan dilakukan secara tertulis, dengan persetujuan masyarakat.

Juru bicara masyarakat Pasapen, Irsan Fajar, S.Pd sambil memperlihatlan audio cisula menjelaskan, bahwa dudukan tiang penyangga tengah sudah retak, yang mengakibatkan posisi dudukan permukaan atas menjadi bergeser dan turun. Bahkan, salah satu dudukan kaki tiang penyangga tower sudah retak, sehingga nampak posisi dudukan menjadi miring dan tidak kuat lagi. Akibat kondisi inilah warga di sekitar tower merasa tidak nyaman.

Wakil Ketua DPRD, H. Yudi Budiana lebih menekankan pada asfek perijinan dan kontruksi bangunan. “Silahkan Dinas Cipta Karya dan BPPT mengkaji ulang, sebab masyarakat menginginkan agar tower dipindahkan dari lingkungan pemukiman,” katanya.

Anggota Komisi C DPRD, Apang Sujaman berpendapat, untuk mengantisipasi ancaman dari banyak erdirinya tower, Ia mengusulkan  agar menggunakan hak inisiatif membuat Perda Tower. Sementara Didi Setiadi meminta tower dipindahkan agar tidak membahayakan masyarakat.

Kabid Pelayanan BPPT, Andi Juhandi, SH menjelaskan, Indosat mengajukan izin pada 2005, didukung dengan melampirkan berkas dari perusahan, gambar kontruksi, dan izin lingkungan sejauh tinggi bangunan tower, yang diketahui oleh Lurah dan Camat Kuningan. Kemudian, permohonan dibahas di tim teknis dan turun ke lapangan, lihat izin lingkungan (warga). Jika disetujui akan diberikan kajian oleh Cipta Karya. Selanjutnya izin keluar, disusul Izin mendirikan tower (IMB) yang berlaku seumur bangunan, sedangkan untuk izin gangguan akan diregistrasi sekira September 2010. (tan)

LPPL Kuningan Tersendat

Kuningan, IB

Kabupaten Kuningan merupakan pioner perubahan RSPD (radio siaran pemerintah daerah) menjadi LPPL (lembaga penyiaran publik local). Bila dulu bernama Buana ASRI maka kini berganti menjadi Kuningan FM.

Perubahan ini mendapat apresiasi dari daerah lain di Jawa Barat, dengan melakukan studi banding ke Kuningan FM. Mereka ingin tahu status dan Perda LPPL. “Hal ini merupakan kebanggan tersendiri,” kata Direktur LPPL, Yayat Priatna kepada IB, di ruang kerjanya, Senin (9/11).

Namun kebanggaan itu bertolak belakang dengan kondisi riil keseharian. Mengapa demikian? Karena tidak ditunjang anggaran yang memadai, baik untuk gaji direksi yakni dirinya dan Pandu A. Hamzah, Dewan Pengawas (Andi Mursid, Drs. Tedi Suminar, M.Si, Yosep Kushendar), sepuluh orang staf dan biaya operasional.

“Kita tidak punya anggaran (RKA) sendiri, dan hanya mengandalkan bantuan. Itupun harus mengajukan nota keuangan ke Pemda. Sementara sumber lain dari iklan, hanya dua juta rupiah. Padahal pengeluaran per bulan mencapai enam juta rupiah,” terang Yayat.

Hal itu pun dibenarkan oleh Angota Dewan Pengawas, Tedi Suminar dan Kepala Pemberitaan Ondin Sutarman. Ia menyebutkan, gaji dan honor selama tiga bulan terakhir tersendat.

Seharusnya, LPPL sebagai lembaga daerah non komersil bukan BUMD, mendapat anggaran yang memadai dari daerah. “Kita adalah lembaga daerah yang berfungsi menyampaikan informasi, hiburan dan edukasi. Sama halnya seperti RRI dan TVRI yang mendapat kocoran dana dari APBN,” ungkapnya.

LPPL ini merupakan implementasi dari UU No. 32 tahun  2001 tentang Penyiaran, Perda No. 18 tahun 2007 tentang LPPL, dan Perbub 17/2008. Dalam ketentuan itu, keberadaan PNS hanya bersifat diperbantukan dari Pemda karena PNS hanya ada di OPD (organisasi perangkat daerah), kecuali sudah terbentuk sekretariat seperti di KPU. (tan)

Berupaya Berdayakan Masyarakat Kuningan

Sindangagung, IB

Tak ada yang lebih berkesan bagi Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Kabupaten Kuningan, Drs. H. Lili Suherli, M.Si., selain memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Untuk itu,  dirinya sangat respon sekali terhadap program yang digulirkan pemerintah mengenai pemberdayaan masyarakat.

Mantan kabag Humas Setda Kuningan ini mengaku, memang banyak program yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, seperti PPIP (program percepatan ifrastruktur perdesaan). Dalam pelaksanaan dilakukan dengan melibatkan organisasi masyarakat setempat (OMS). “Kita hanya fasilitator saja, sedangkan yang merencanakan dan melaksanakan adalah masyarakat,” terang Lili.

Hal itu pun dikuatkan oleh Satker PPIP Kab. Kuningan, Ono Dharsono, S.Sos, yang menyebutkan selama lima tahun terakhir Kuningan mendapat bantuan program ini. “Selama lima tahun terakhir Kuningan mendapat bantuan PPIP dengan besaran Rp. 150 juta/desa. Diawali 2005 sejumlah 20 desa, namun pada 2006 berhenti. Dilanjutkan pada 2007, 2008 dan 2009,” katanya.

Dikatakannya, program pemberdayaan masyarakat lainnya berbentuk program masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Program ini dibagi dua yakni untuk fasilitas umum seperti penataan jalan lingkungan dan jembatan, serta fasum lainnya.

Selanjutnya ada program Pamsimas (pengelolaan air minum swadaya masyarakat), tahun 2010 sejumlah 16 desa dapat bantuan. Pamsimas dilaksanakan oleh masyarakat, dimana masyarakat membentuk lembaga keswadayaan masyarakat (LKM) yang dibentuk dan dipilih secara demokrasi dan harus ada keterwakilan kaum perempuan dan kaum miskin.

Dalam program ini ada sharing antara pusat, daerah dan desa. Dari total dana Rp. 275 juta, bersumber dari APBN Rp. 192,5 juta, APBD Rp. 27,5 (10 %) jumlah Rp. 220 juta. Ditambah swadaya masyarakat 20 %. Terdiri swadaya uang cash Rp. 11 juta (4 %), dan swadaya tenaga Rp. 44 juta, jumlah Rp. 55 juta. (tan)

Bursa Sekda Mulai Mengemuka

Kuningan, IB

Bursa calon Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kuningan mulai mengemuka. Hal itu berkaitan dengan akan berakhirnya masa jabatan Sekda saat ini yakni Drs. H. Djamaluddin Noer, MM pada 1 Januari 2009.

Beberapa nama yang muncul ke permukaan sebagai kandidat orang ke tiga di Kuningan itu diantaranya Dr. Ir. H. Iman Sungkawa, MM yang saat ini menjabat kepala Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kab. Kuningan, H. Bambang T. Margono, SH, MM (Asisten Tata Pemerintahan), dan Drs. Nandang Sudarajat (Asisten Administrasi Setda Kuningan). Iman Sungkawa dan Bambang, pernah mingikuti test and prover test (uji kepatutan dan kelayakan) bersama-sama Sekda Djamal.

Menurut Iman Sungkawa, seorang Sekretaris Daerah setidaknya harus memahami dan memiliki tiga faktor pada dirinya. Ketiga faktor itu yakni sebagai koordinator, administrator dan pembuat konsep.

Sebagai koordinator harus mampu mengordinasikan dan mengendalikan seluruh dinas,  bidang atau organisasi perangkat daerah (OPD), agar bisa lancar. Memiliki kemampuan adminstrasi, mulai perencanaan, penempatan pegawai, dan mengatur administrasi. Serta memiliki konsep untuk menjabarkan kebijakan yang diambil oleh bupati.

Analisa Tim Litbang Tabloid Identitas Bangsa, ketiga nama yang telah beredar memiki tingkat kompetensi untuk menempati posisi Sekda. Namun secara kualitatif, nampaknya Iman Sungkawa di atas yang lain. Permasalahan muncul, apakah Bupati Aang Hamid Suganda membutuhkan siapa dan yang bagaimana.

Bila yang menjadi acuan adalah terpenuhinya syarat secara administrasi dan faktor pertimbangan politis (kedekatan pada Pilkada 12 Oktober 2008 lalu), maka peluang terbesar ada pada diri Nandang Sudrajat, karena Ia termasuk pejabat yang disebut-sebut dekat dengan Bupati.

Kepala BKD Kuningan, Drs. Nurahim, M.Si saat ditanya IB mengaku belum menerima daftar nama para pejabat dari Baperjakat untuk diajukan ke provinsi. “Sampai saat ini Saya belum menerima surat dari Baperjakat mengenai nama pejabat yang akan diusulkan ke provinsi untuk menempati posisi Sekda. Kendati masa jabatan Pak Jamal akan habis pada 1 Januari 2009 nanti,” kata Nurahim.  (tan)

Ketua Komisi, Jangan “Nyeleneh” di Koran

Kuningan, IB

Wakil Ketua DPRD Kuningan H. Toto Hartono, sangat tidak sreg dengan statemen Ketua Komisi A, dan B di koran.

Di ruang kerjanya belum lama ini, H. Toto menyesalkan statemen yang dilontarkan Ketua Komis A dan B, yang seolah antara eksekutif dan legeslatif terjadi benturan. “Hal demikian apabila dibiarkan akan berdampak kurang baik, idealnya komisi koordinasi dulu dengan unsur pimpinan dewan. Disebutnya juga alat kelengkapan dewan,” terangnya kepada IB.

Dengan kejadian tersebut dia langsung memanggil staf sekwan untuk melakukan pemanggilan jajaran pimpinan komisi A dan B agar besoknya menghadap kepadanya. Menurutnya hal ini sangat penting dilakukan dalam rangka memberikan brifing agar kinerja dewan lebih proporsional.

Lebih lanjut dia mengharapkan agar ke depan setiap anggota komisi tidak sembarangan melontarkan statemen di media massa. Bahkan semestinya ada aturan yang mengikat berupa tata tertib yang mengatur  akan hak-hak me-nyampaikan pendapat yang mengatasnamakan anggota dewan. “Sebenarnya jika sudah memahami tupoksi masing-masing hal ini tidak perlu terjadi,” katanya.

Ketua Komisi “B” bidang perekonomian Pusantara Tri Kordianto, saat dikonfirmasi Selasa (3/10) di ruang fraksi Partai Demokrat, membenarkan akan adanya misunderstanding unsur pimpinan DPRD dengan komisi keterkaitan statemen di koran. Tapi setelah dijelaskan bahwa statemen itu atas nama pribadi, permasalahan pun akhirnya clear dan bisa berjalan harmonis.

Sementara Pusantara mengakui banyak bidang yang  menjadi garapannya, antara lain Bidang Industri Perdagangan, Pertanian, Perkebunan, Perhutani, TNGC, Perbankan, Pasar, PDAM. (Achadiat)

Nikah Sah Apabila Tercatat

Kuningan, IB

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dianalogkan sebagai fiqih Indonesia, yang wajib ditaati oleh setiap pemeluk Agama Islam di Indonesia. Dalam UU Perkawinan itu disebutkan, sahnya perkawinan bila dilakukan di hadapan dan dicatat oleh petugas pencatatan pernikahan.

Dengan demikian, kata Kepala Kantor Depag Kabupaten Kuningan, Drs. H. Encu Sukat WS, MA melalui Kasi Urais, H. Rohaedi, S.Ag., setiap pernikahan yang tidak dilakukan di hadapan dan tidak dicatat oleh petugas pencatat (penghulu) adalah tidak sah.

Ia mengharapkan apabila sudah terpenuhi rukun nikah dan tidak ada halangan untuk menikah, sebaiknya segera lakukan pernikahan secara resmi.

Hal itu menyikapi masih adanya beberapa kejadian pernikahan yang dilakukan secara agama saja (siri) dan tidak tercatat. Pernikahan secara agama bukan berarti tidak sah, namun akan menimbulkan permasalahan baru terhadap keturunannya.

Begitu pula ketentuan mengenai talak tidak hanya cukup dilakukan secara lisan, tetapi harus melalui putusan pengadilan. “Bagi yang menikah siri, terjadi kelemahan bila terjadi perceraian karena tidak ada bukti pernikahan. Bahkan pernikahannya sendiri dianggap tidak ada secara hukum positif. Ingat negara kita adalah negara hukum,” terang Rohaedi kepada IB, di ruang kerjanya, Rabu (4/11).

Menurut ketentuan yang berlaku, bahwa bagi anak yang lahir di luar pernikahan sah, berakibat anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya. Termasuk bila dibuatkan akta kelahiran maka yang tercantum hanya ibu kandungnya saja. Namun bila ibu dan bapaknya, kemudian melakukan pernikahan, maka anaknya dapat diakui atau melalui pengesahan anak.

Begitu pula dalam hal akan terjadi pernikahan lagi, dibolehkan selama ada izin dari pengadilan. Dan bagi mereka yang telah menikah, selama memenuhi syarat dan tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan maka Depag Kabupaten Kuningan dapat membantu.

Ketika ditanya bagaimana hukumnya mengenai pernikahan yang dilakukan antara calon pengantin pria dengan wanita yang tengah hamil. Menurut Rohaedi, hal itu dapat dilakukan selama yang menikahinya adalah pria yang menjinahinya. Hal itu didasarkan pada Konfilasi hukum Islam, bahawa pernikahan dapat dilangsungkan tanpa harus menunggu kelahiran bayi. (tan)

BPIH Kuningan Tidak Transparan

Kuningan, IB

Ketua Fraksi Partai Demokrat Yayat Ahdiatna, SH menduga pengelolaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah  Haji (PIH) di Depag Kuningan tidak transparan.

Hal tercetus berawal dari laporan H. Dadang Supriadi, anggota komisi D bahwa dirinya mendapatkan laporan dari Ketua Komisi D.Iwan Sonjaya, tentang penerimaan  dana Pemberangkatan Ibadah  Haji  dari Depag Kuningan  sebesar Rp. 700.000,00 yang diterima komisi D  Selasa tanggal 28 Oktober 2009 tapi tidak jelas peruntukannya.

Berhubung uang tidak jelas untuk apa-apanya, komisi D berniat menolak pemberian uang tersebut. Dalam kesempatan itu, Yayat menegaskan setiap anggota dewan sebaiknya  hati-hati  dalam menerima pemberian apalagi tidak jelas urus-urusnya. “Jangan-jangan kita ikut berdosa dan terbawa celaka dengan pemberian tidak seberapa, iya ngga?” tanyanya pada penulis.

Ia mengatakan semua orang perlu uang, tapi untuk mendapatkan uang itu jangan gegabah. Menurutnya alangkah baiknya dipertanyakan dulu payung hukumnya, supaya kita selamat serta tidak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

“Apalagi kalau ada aturan seluruh anggota komisi D diwajibkan ikut menjajap calon haji sampai embar kasih, berarti dananya tidak sedikit. Mau sedikit atau banyak dana Pemberangkatan Ibadah Haji  yang  diberikan kepada dewan  yang penting sesuai dengan aturan,” tegas Yayat.

Ketika masalah tersebut dikonfirmasikan ke Kandepag Kuningan, Kepala Kandepag Kuningan yang diwakili Kabag TU Yusron Khalid, S,Ag saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (3/10), membenarkan adanya permasalahan tersebut. Menurutnya sebelum pemberangkatan beliau selaku Ketua rombongan haji kontak dulu ke embarkasi siapa-siapa saja yang dapat  diterima di embarkasi Bekasi.

Lebih lanjut ia mengatakan, berdasarkan pengalaman tahun 2008, memang ada satu rombongan satu mobil dari anggota DPRD Kuningan yang ikut mengantarkan jamaah ke Bekasi, mengingat karena pada waktu itu banyak sekali  anggota DPRD yang menjadi jemaah haji. Acep cs, Sekwan dan seterusnya. Sehingga sangat dimungkinkan pada  waktu itu, ada kebijakan kepala seksi urusan haji memberikan kesempatan kepada komisi D dan teman DPRD lainya untuk berangkat satu rombongan dengan dipasilitasi mungkin  kendaraannya dari DPRD. “Sementara  makan, bensin dan supir kita tangani, dan uangnya pun tidak besar”, jelasnya.

Di samping itu Yusron menerangkan bahwa ketika masuk embarkasi Bekasi siapapun bisa masuk apabila ada stiker. Stiker dari embarkasi ada tiga unsure Panitia Pemberangkatan Ibadah Haji (PPIH) itu, yang  satu  untuk  Depag, kedua unsur muspida diwakili oleh bupati, dan  ketiga ambulan.

“Tidak disertakannya komisi D, itu juga dikarenakan himbauan dari Gubernur Jabar kepada Pemkot/Pemkab se-Jabar untuk mengadakan acara pemberangkatan haji  sesederhana mungkin. Mungkin DPRD sebagai wakil rakyat ingin mengetahui seberapa jauh baik buruknya penanganan pemberangkatan haji itu,” terangnya.

Berkaitan dengan masalah tersebut, Yusron memberikan penjelasan fasilitas dana pemberangkatan haji, untuk satu rombongan DPRD hanya Rp. 600 ribu buat makan dan bensin pulang pergi, dan untuk supir Rp. 250 ribu. “Kalau pemberangkatan dari unsur DPRD tidak disertakan, mungkin untuk penjemputannya nanti insya Allah akan diikutsertakan,”katanya. (Rd. Achadiat)

Nilai Kepahlawanan

Nilai kepahlawanan yang dapat dipetik dari momentum peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2009, diantaranya jiwa dan semangat rela berkorban, semangat persatuan dan kesatuan, dan semangat pantang penyerah. Nilai humanis yang telah ditanamkan dan ditularkan oleh para pahlawan, sangat besar artinya dalam tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kini nillai luhur tersebut seakan tereduksi oleh paham baru yakni individualists materialistis dan liberalisme. Memang bukan sebuah keniscayaan, bahwa paham liberalisme yang telah mencengkram itu nampaknya menjadi jargon pembangunan dan kebanggaan kaum hedonisme. Seperti kebangga an akan kemajuan pembangun an imprastruktur, jalan, jembatan dan gedung-gedung, sementara pembangunan mental spiritual seakan kurang diperhatikan.

Permasalahannya, memang akan lebih sulit melihat hasil pembangunan dari sisi mental dan moral, karena bersifat intangible. Sehingga untuk memudahkan alat ukur hasil pembangunan yang lebih mudah digunakan alat ekonomi, karena lebih realistis.

Saat ini yang katanya, jaman reformasi sebaiknya dijadikan intropeksi bahwa keduniawian (ala kapitalis liberalis) yang mengesamping kan moral sebagai identitas bangsa ternyata gagal mencari solusi dari keterpurukan akibat krisis multidimensional.

Ini karena semangat pantang menyerah, sikap kebersamaan dan rela berkorban tidak lagi menjadi acuan. Namun yang digunakan adalah berlomba-lomba untuk memuaskan diri sendiri tanpa memperhatikan lingkungan di sekitar kita (atau keshalihan sosial) ternyata, kita gagal.

Seperti halnya IPM (indek pembangunan manusia) tiada artinya, kalau dilakukan hanya individu per individu, karena perhitungan matematis bersifat komulatif. Apakah bidang pendidikan (termasuk moral dan agama), kesehatan dan ekonomi, dan lainnya. (redaksi)

PNFI Wujudkan Pendidikan Seumur Hidup

Kuningan, IB

Dalam upaya mewujudkan pendidikan visi “belajar seumur hidup” bidang PNFI (pendidikan non formal informal) Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kuningan terus melakukan pembinaan dan pengawasan. Banyak garapan dibidang PNFI ini, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD), keaksaraan, program keahlian seperti kursus, keaksaraan fungsional dan pendidikan kesetaraan.

Kepala Bidang PNFI Disdikpora Kab. Kuningan, Drs. H. Toto Toharudin, M.Pd bersama Inspektorat Jendral PNFI, Drs. H. Nurcahya, M.Ak dan Arifin, S.Sos, melakukan monitoring dan pengawasan jalannya ujian nasional kesetaraan tahap II. Menurut H. Toto Toharudin, bila pada tahap pertama peserta ujian keseteraan diikuti oleh 1.628 siswa. Maka pada tahap ke II, untuk Paket C (setaraf SMA) diikuti oleh 385 peserta, dengan waktu penyelenggaraan Selasa – Kamis (10 – 12 November, untuk IPS), sedang bidang IPA hingga jum’at (13/11). Dan untuk Paket B, 18 – 22 November 2009.

Peserta berasal dari 14 PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang tersebar di 10 kecamatan. Menurut Toto, jumlah peserta ujian sekarang lebih sedikit, karena sebagian besar sudah lulus pada ujian tahap pertama Juli lalu. Namun Ia mengakui, ada tiga kendala yang dihadapi yakni sosialisasi, publikasi terhadap kegiatan PNFI, dan advokasi. “Untuk solusinya harus dibangun dengan berbagai langkah. Misalnya meyakinkan agar alumni Paket C percaya diri bahwa mereka sederajat dengan lulusan SMA, dan diakui oleh masyarakat,” terang Toto,

Hanya perbedaannya, program kesetaraan tidak mengenal batas umur, sehingga disebut juga pembelajaran sepanjang hayat. Penulis sempat menemui rombongan Irjen dan Kabid PNFI di PKBM Al Iklas Kelurahan Ancaran Kuningan. Rombongan diterima oleh Ketua PKBM, H. Muhtadi di kantornya dan Drs. Ishak.

Seorang peserta ujian yang sudah berusia 60 tahun, Engkus Kusnadi mengungkapkan latar belakang mengikuti program dan ujian Paket C adalah untuk memotivasi anak-anaknya agar giat belajar.

“Diantara anak saya ada yang telah lulus S.2 (Pasca Sarjana) ada pula yang malas sekolah. Bagi anak yang malas sekolah inilah saya memberikan motivasi betapa pentingnya pendidikan, meski usia sudah ujur,” katanya. (tan)